Rabu, 18 Agustus 2010
Tayangan Inspiratif
Rabu, 04 Agustus 2010
Monopoli Pendidikan
Sebenarnya RSBI merupakan singkatan dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Namun, dalam tulisan saya kali ini akan saya plesetkan menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Karena, RSBI terbukti jelas-jelas tidak berpihak pada kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah di
Biaya masuk dan sumbangan pengembangan pendidikan yang tinggi membuat resah kebanyakan masyarakat di
Bukankah pendidikan yang berkualitas merupakan hak setiap anak bangsa. Tidak memandang kasta orang tua. Hal ini telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, "Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan" (Naskah UUD 1945, perubahan keempat disahkan 10 Agustus 2002).
Dalam Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang dinyatakan pada tanggal 10 Desmber 1948 oleh Negara-Negara yang Tergabung dalam PBB) juga tidak jauh berbeda isinya dengan UUD 1945. Kita dapat membacanya pada pasal 26 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi, "Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dengan tanpa biaya dan diadakan program wajib belajar". Orang tua mempunyai peranan utama untuk memilih macam-macam pendidikan bagi anak-anaknya.
Namun, fakta berkata lain. RSBI telah membatasi pelajar yang memang mempunyai kemampuan untuk bersekolah di sekolahan yang berembel-embel internasional. Hanya karena ketidakmampuan membayar biaya sekolah yang tinggi. Sungguh miris hati ini melihat potensi anak bangsa yang tidak bisa dikembangkan hanya karena ketidakmampuan biaya.
Fenomena Sekolah Negeri Berembel-embel Internasional
Fenomena sekolahan negeri yang berevolusi menjadi RSBI sudah banyak terjadi di
SMA negeri di Kota Mojokerto hanya ada 3 sekolahan yaitu SMA 1, SMA 2, dan SMA 3. Ketiga sekolahan negeri ini yang telah bertaraf internasional adalah SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Untuk biaya sumbangan pengembangan pendidikan agar bisa sekolah di
Dulu waktu saya sekolah di
Kebijakan ini akan menyebabkan menipisnya peluang pelajar yang berpotensi dari kalangan menengah ke bawah untuk dapat sekolah di sekolahan negeri di
Fenomena ini juga tidak menutup kemungkinan akan bisa merambat ke daerah-daerah lain di Indonesia. Apabila pemerintah tetap memberikan hak otonom (kebebasan) pada sekolahan negeri untuk bisa mengatur sendiri status yang disandangnya tanpa campur tangan pemerintah. Padahal pada saat penentuan kelulusan pelajar pemerintah selalu ikut campur. Kita dapat melihat kebijakan itu pada pelaksanaan ujian nasional di setiap akhir tahun ajaran pendidikan.
Sekolahan negeri yang diharapkan bisa menjadi sekolahan yang berkualitas dengan biaya terjangkau untuk semua kalangan. Kini dengan kebijakan yang dimiliki kepala sekolah dari sekolahan negeri. Kepala sekolah bisa sewaktu-waktu mengubah sekolah yang dipimpinnya menjadi RSBI. Hal ini berarti sekolahan negeri tidak terjangkau lagi bagi masyarakat di
Monopoli pendidikan mau tidak mau pasti akan segera tercipta. Hanya anak orang kaya yang bisa sekolah di sekolahan negeri. Anak orang biasa-biasa saja yang memang memiliki kemampuan yang sama hanya bisa menjadi penonton. Mereka hanya bisa melihat teman-temanya dari keluarga berkecukupan menimba ilmu di sekolah negeri bertaraf internasional. Akibatnya kecemburuan sosial pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Kebajikan untuk Mengimbangi Kebijakan Pendidikan
RSBI sebenarnya merupakan sebuah kebijakan pendidikan yang membangun dalam dunia kependidikan di
Jadi RSBI memang bisa menjadi sebuah catatan baru dalam sejarah perkembangan pendidikan di
Inilah kebajikan yang harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah dan kepala sekolah di rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Agar dapat mengimbangi kebijakan pendidikan yang tidak mengayomi (baca: melindungi) rakyat kecil. Sehingga, diharapkan nantinya pelajar RSBI pun bisa netral dan berasal dari semua kalangan.
Akhirnya pandangan masyarakat mengenai RSBI pun bisa berubah. RSBI tidak lagi identik dengan sebutan Rintisan Sekolah Bertarif Internasional.
Eki Tirtana Zamzani
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel